SEJARAH TERSUSUNNYA KITAB HADITS HIMPUNAN

 SEJARAH TERSUSUNNYA KITAB HADITS HIMPUNAN



.

.


Poro Sedhulur Jamaah,


KH Nurhasan Ubaidah selalu mengajarkan pada murid-muridnya untuk berpedoman pada Quran Hadist. Maka sepulangnya beliau dari Mekkah tahun 1940 (setelah sebelumnya beliau tholabul ilmi selama 10 tahun lebih di Ma'had Daarul Hadits Mekkah), beliau hanya fokus mengajarkan Qur'an dan Hadits. Tujuannya agar praktek ibadah Jamaahnya teramut sama seperti yang dicontohkan Nabi.

عَنْ مَالِكٍ بْنِ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابِ اللهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ. [رواه مالك في الموطأ]

Artinya: “Diriwayatkan dari Anas bin Malik berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Aku telah meninggalkan kepadamu sekalian dua perkara, tidak akan tersesat kamu selama berpegang teguh dengan keduanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”. [Diriwayatkan oleh Malik dalam kitab Muwattha’].

_________________________________________________


Di era jaman Abah Nurhasan Ubaidah untuk bisa mengaji Kitab Hadits Kutubussitah (Kitab Induk) bukan tanpa kendala, diantaranya:


1. Kendala Pertama

Tahun 1950-1960 an Kitab Hadits masih langka di toko-toko Kitab yang menjual Kitab Kutubussitah, berbeda seperti jaman sekarang yang sudah banyak percetakan bahkan beli via online pun bisa.


2. Kendala Kedua

Kitab-kitab Hadits dinilai oleh umumnya umat Islam saat itu sebagai ranah ilmunya Kyai, sedangkan bagi umat Islam awam "opo jare Kyai wae (apa kata Kyai saja). Ga usah repot-repot harus ngaji Hadits.."


Sebagai pembanding, saya generasi Jamaah di era tahun 1990 an, di daerah asal saya yang mayoritas "Abangan", boro-boro ngerti Kitab Hadist, wong semua tulisan Arab oleh orang kampung dianggap Qur'an, hehehe. Kalau dijelaskan ini Kitab Bukhori, Shohih Muslim, Nasa'i, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, mereka malah bingung, apalagi di tahun 1950-1960 an. Pernah juga di era tahun 2000 an, selepas saya lulus dari pondok pesantren, ada ‘wong ndeso’ yang tanya ke saya: 

Penanya: "Mas, punya Kitab Shohih Muslim?".

Saya: "Punya" Sambil nyodorin kitabnya. 

Penanya: "eh bukan itu mas". Ternyata dia punya terjemahan saja, bukan Kitab Muslim aslinya. hehehe


3. Kendala Ketiga

Toko-toko Kitab saat itu pada enggan menjual Kitab Hadits, karena ga laku (ga dapat untung).


4. Kendala Keempat

Saat Abah Nurhasan Ubaidah mengajak ngaji Hadits, Kitab fisiknya susah didapat/dimiliki. 

Kalau toh ada barangnya, muncul 3 pilihan:

A). Maskul yang harokatnya komplit, mudah untuk dibaca, dikemas rapi, dan penampilannya bagus, tapi harga lumayan mahal.

B). Setengah Maskul, yang sebagian diberi harokat/ sebagian tidak. Bagi Jamaah Plenthis Mbah Man agak mumet/pusing. Dan pada umumnya tidak terjilid rapi alias "protolan", berpotensi "ambyar".

Meskipun demikian, harganya relatif terjangkau, bagi santri-santri yang saat itu mayoritas masih Dhu'afa. Berbeda dengan Abah Nurhasan dan murid-muridnya yang sebagian adalah jebolan pesantren, sudah mahir baca Kitab.

C). Kitab Gundul, kitab tanpa harokat, bikin mumet para santri yang saat itu bukan berlatarbelakang Kyai/santri. Tapi keuntungannya harga Kitab Hadits itu lebih murah dan bisa terbeli walaupun bagi Jamaah yang masih Dhu'afa.


.


Dari kenyataan tersebut diatas, lantas lahirlah Ijtihad dari Abah Nurhasan agar menyalin materi Hadits yang akan dikajikan dan dipilih yang sedang saja, maksudnya dipilih yang akan kita kaji ilmunya saja terlebih dahulu, sesuai babnya, misal mau tau tata cara wudhu, tata cara sholat, maka itulah yang harus disalin/ditulis, karna saat itu belum ada mesin fotocopy. Karena Ibadah yang paling utama adalah sholat, maka tersusunlah Kitab Hadits Himpunan yang saat itu dengan nama "NASA'I" karena sebagian besar diambil dari Kitab Sunan Nasa'i. Seiring dengan berjalannya waktu, Kitab itu akhirnya diberi nama Kitabussholah atau Kitab/Catatan Tentang Sholat. 


Lantas ditambah sekian Naskah Hadits yang dari Sunan Nasa'i, juga diambil dari Kitab Hadist Kutubus Sittah lainnya, dan kitab2 lainnya.


Pemilihan menyalin dari Kitab Sunan Nasa'i, satu diantaranya, redaksi haditsnya yamg simpel dan sederhana, jika dibanding dengan Kitab Bukhori atau Shohih Muslim.


Pertimbangan lain, mayoritas warga dan para Santri hanya majedub alias Ujug2 wal Kepekso jadi Jamaah yang mau nyantri di Pondok. Mereka tidak terlahir dari trah darah "biru" Kyai yang terbiasa dengan kearab2an di era itu. Tapi terlahir dari masyarakat Islam awam yang seringkali disebut "Abangan". 


Kitab Himpunan "Nasa'i" yang lantas diganti dengan nama Kitabush Sholah lahir sebelum Pondok Wali Barokah Kediri dibangun. Setelah Pondok Wali Barokah Kediri dibangun dan dihuni para santri, ketika mau mengaji bab lain dari kitab² hadist Kutubussitah, muncul lagi kendala seperti sebelumnya, yaitu tidak ada kitabnya. 


Lantas terjadilah inisiatif untuk menyalin beberapa bab dari keilmuan yang akan dikaji, bukan hanya pada Kitabussholah, alias ada kitab himpunan lain, misal mau mengkaji bab sholat sunnah, maka disalin Kitab SolatiNawafil (Kitab tentang Sholat Tambahan/Sunnah).


Maka tersusunlah kitab himpunan lain selain Kitabussholah, yang sebenarnya dihimpun dan ditulis oleh seorang Perwira Polisi yang bernama Bapak Nasrip yang menetap di Kota Surabaya.


MasyaaAllah lur..

Sholat kita yang seragam berdasarkan Kitab Sunan Nasa'i ya termasuk jasa beliau. Kita doakan beliau semoga mendapat pahala jariyah dan derajat syurga yang tinggi, aamiiiiin.


.


Kisah diatas adalah episode awal warga Jamaah pada era itu, diramut ibadahnya oleh Abah Nurhasan Ubaidah dengan rumus fenomenal yaitu "Papan Empan Adepan", atau dalam kata lain dengan Fathonah, Bithonah, Budi Luhur.

Tidak ada di jaman itu ibadah sampai diarahkan sebegitu detailnya seperti yang dilakukan oleh Abah Nurhasan Ubaidah kepada Jamaahnya. Walaupun dengan fasilitas yang sangat terbatas, namun semuanya diajak beribadah sesuai dalam hadist, meniru Rasulullah.


Seiring dengan berjalannya waktu, hadirlah sekian rahmat dan nikmat pertolongan Allah, seperti yang  tersurat dalam bacaan yang mulia berikut: 

وَأُخْرَىٰ تُحِبُّونَهَا ۖ نَصْرٌ مِّنَ ٱللَّهِ وَفَتْحٌ قَرِيبٌ ۗ وَبَشِّرِ ٱلْمُؤْمِنِينَ

Artinya: "Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman". (QS. As Shaff : 13).


Diantara wujud nyata dari pertolongan dan kemenangan Allah yaitu tersedianya Kutubussitah, warisan yang sungguh mulia dari Rasulullah SAW. Kitab-kitab itu bisa dimiliki dengan sangat mudah, karena derajat hidup Jamaah telah diparingi Allah menjadi Aghniya, bukan lagi Dhu'afa. Tidak seperti para pendahulu kita, yang saat itu berjuang dengan sekian ujian dan juga kemiskinan. Bahkan caci maki, ditawur saat mengaji, mempertaruhkan nyawa, harta, tenaga, bahkan waktu.

Syukur serta doa Alhamdulillah Jazahumullahu Khoiro harus selalu kita haturkan kepada Allah dan Para Pejuang Pendahulu, Para Mujahid & Syuhada Jamaah.

.


Bentuk pertolongan lainnya juga berupa hadirnya kecerdasan warga Jamaah di era sekarang ini, yang tidak saja bisa melek atau mengerti huruf Hijaiyyah, tapi juga bisa membaca Qur'an dan Hadist dengan fasih, mahir berbahasa Arab, bacaannya merdu, tartil tajwid dan makhrojnya, bahkan tak sedikit yang diberi anugerah HAFIDZ alias mampu untuk menghafalnya.


Kita mendengar suara merdu para Mubaligh muda kita, insyaAllah tidak kalah dengan murottal yang di CD atau murotal YouTuber, dan generasi Jamaah yang suaranya merdu jumlahnya insyaAllah ribuan, hanya saja mereka bukan YouTuber (yang mengupload suara merdunya ke YouTube demi mengejar uang).


Termasuk sebagian pertolongan Allah, generasi penerus Jamaah sekarang bisa membaca Arab gundul maupun setengah maskul, mereka masih muda-muda umurnya dan pintar. Alhamdulillah lur.

.


Mereka yang saat ini menghina Jamaah ga bisa bahasa Arab, ga bisa nahwu sharaf, mungkin dia lahir atau menjumpai Jamaah di jaman era pertengahan Jamaah. Dalam artian mereka tidak menjumpai jaman Abah Nurhasan Ubaidah dengan murid-murid yang ahli bahasa Arab, ahli nahwu sharaf, ahli ilmu alat, jebolan pondok pesantren ormas sebelumnya, bahkan ada yang merupakan Kyai sekaligus pemilik pondok pesantren (diluar Jamah itu jika ada yang punya pondok pesantren itu hal yang luar biasa). Seperti: Kyai Mas'udi Rhodi, KH. Abdul Mannan, KH. Suudzi Alhafidz, yang rata-rata lulusan pesantren sebelumnya, bahkan ada yang lulusan Al Azhar, dosen IAIN di Jogja, Dr. KH. Nur Hasyim.

Dan mereka tidak menjumpai keadaan Generasi Penerus Jamaah saat ini yang mahir akan bisa Arab dan juga membaca Kitab tanpa harokat.


Subhanallaahluar biasa pertolongan dan kemenangan dari Allah..!.

_______


Lahirnya Generasi Muda Jamaah yang saat ini kita lihat dan kita banggakan, tentu saja bukan lahir karena di karbit, di rekayasa instan, bukan pula datang dengan tiba-tiba begitu saja. Namun semua itu berproses dengan sekian tahapan yang menguras harga, keringat, darah dan juga air mata, yang kemudian secara alami dan Qodrati mengkristal dalam wujud dan bentuk yang kita nikmati hari ini, semoga sampai nanti.

Aamiiin yaa robbal 'aalamiiin.


(Saya tulis dengan ijin Penulis Asli sekaligus Pelaku Sejarah murid Abah Nurhasan Ubaidah yaitu KH Ali Mas'ud, insyaAllah beliau seangkatan guru saya di Ma'had Imam Mursyid).


#SHARE

#VIRALKAN

Comments

Popular posts from this blog

Ber Budi Luhur & Luhuring Budi Adalah amalannya orang Iman

Jasmerah = Jangan sekali-kali melupakan sejarah jokam

asal muasal / sejarah munculnya istilah KUSTUR.